Alamanahjurnalis.com - JAKARTA - Belakangan ini, industri media Indonesia kembali diguncang gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Kompas TV, dalam rilis resminya, mengumumkan merumahkan 150 karyawan. Momen haru terjadi ketika Gita Maharkesri, presenter senior, tak kuasa menahan air mata saat membacakan berita terakhirnya di Kompas Sport Pagi, 30 April 2025. Video tersebut viral, menggugah simpati publik.
Melansir laporan dari Majelis Tabligh Muhammadiyah, TV One melepas 75 karyawan, CNN Indonesia TV memangkas 200 tenaga kerja, Emtek Group sebanyak 100 orang, dan VIVA.co.id dikabarkan menutup kantornya di Pulogadung. MNC Group tak ketinggalan melakukan reorganisasi besar-besaran dengan merampingkan struktur redaksi secara signifikan.
Fenomena ini bukan sekadar gejala pascapandemi. Ini adalah sinyal keras bahwa industri media penyiaran tengah mengalami krisis eksistensial akibat transformasi digital yang belum diantisipasi secara utuh. Namun, di tengah badai ini, kita harus bertanya: apakah krisis ini adalah akhir, atau justru awal dari perjalanan baru?
Ketika Dunia Berubah, Harapan Harus Berkembang
Perubahan gaya konsumsi informasi membuat masyarakat lebih memilih platform seperti YouTube, TikTok, dan podcast. Era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) menuntut kecepatan, fleksibilitas, dan kreativitas. Dalam bukunya The Great Shifting, Prof. Renald Kasali menegaskan bahwa media konvensional harus bertransformasi secara radikal. Tak bisa lagi hanya mengandalkan rating dan iklan, tapi harus berpijak pada komunitas dan data.
Namun, perubahan bukan berarti kehancuran. Dalam setiap krisis, selalu ada ruang untuk pertumbuhan baru. Seperti tanah yang digemburkan, awalnya sakit, tapi justru membuat benih-benih baru tumbuh lebih kuat. Media harus kembali pada idealisme—menjadi suara kebenaran, bukan sekadar perpanjangan rating.
Prof. Komaruddin Hidayat mengingatkan bahwa media adalah institusi budaya. Ketika kehilangan idealisme, maka terjadi dehumanisasi komunikasi. Tapi ketika idealisme dijaga, maka media akan terus hidup—meski dalam bentuk berbeda.
Melampaui Statistik, Menyentuh Kehidupan
Menurut laporan Reuters Institute (2021), kepercayaan publik terhadap televisi di Indonesia terus merosot—dari 56% pada 2016 menjadi 39% pada 2021. Survei APJII (2023) menyebut mayoritas Gen Z dan milenial kini beralih ke media digital. Tak heran, belanja iklan televisi turun 22% sepanjang 2023, sementara iklan digital naik 31% (data Nielsen).
Namun di balik statistik, ada manusia. Ada jurnalis, editor, kru lapangan, dan teknisi yang kehilangan pekerjaan—dan mungkin juga kehilangan arah hidup. Tapi satu hal yang tak boleh hilang: harapan.
Banyak jurnalis kini memulai kanal YouTube, membuka pelatihan daring, hingga membangun startup konten digital. Ini bukan sekadar bertahan. Ini tentang membentuk ulang masa depan dengan keberanian baru.
Copycat Layoff dan Keberanian untuk Berbeda
Sayangnya, gelombang PHK tidak hanya terjadi di media. Banyak perusahaan dari berbagai sektor ikut menempuh jalan yang sama dalam waktu bersamaan. Fenomena ini dikenal sebagai copycat layoff—ketika satu keputusan PHK dari perusahaan besar memicu perusahaan lain untuk melakukan hal serupa, bahkan tanpa analisis kebutuhan aktual.
Menurut berbagai laporan, tren ini kadang lebih bertujuan menjaga citra atau merespons tekanan pasar daripada karena kebutuhan nyata. Tapi di sinilah pentingnya kepemimpinan sejati. PHK seharusnya bukan solusi instan, tapi opsi terakhir setelah semua cara ditempuh.
Dan bagi para pekerja, ini saatnya untuk membuktikan bahwa kehilangan pekerjaan bukan akhir dari jati diri. Kita bukan hanya ‘apa’ yang kita kerjakan, tapi ‘siapa’ yang kita perjuangkan dan ‘mengapa’ kita terus berjalan.
Bangkit, Berkarya, dan Menemukan Makna Baru
Mungkin ini saatnya bagi banyak dari kita untuk reorientasi hidup. Merenungi bukan hanya bagaimana mencari penghasilan baru, tapi juga bagaimana menemukan makna baru. Dunia digital adalah ruang terbuka. Tantangannya besar, tapi peluangnya lebih besar lagi bagi yang siap beradaptasi.
Kita belajar dari sejarah: media selalu bertransformasi. Dari surat kabar ke radio, ke televisi, dan kini ke platform digital. Yang bertahan bukanlah yang terbesar, tapi yang paling lentur.
Kepada mereka yang hari ini kehilangan pekerjaan: tetaplah berdiri. Anda masih punya suara. Anda masih punya nilai. Anda masih punya cerita untuk disampaikan kepada dunia. Dan percayalah, dunia masih membutuhkannya.
Akhir Bukanlah Akhir
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 6, "Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti..." — media bukan hanya instrumen ekonomi, tapi juga amanah moral dan spiritual. Maka, mereka yang pernah bekerja di dalamnya harus percaya bahwa kebenaran, ketekunan, dan kreativitas tidak akan sia-sia.
Karena sesungguhnya, di balik gelapnya badai, selalu ada langit cerah yang menanti.
Sumber: netralnews.com