Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, Begini Analisis Dosen UMM

| July 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-15T21:58:46Z




Alamanahjurnalis.com - Pemisahan antara pemilu nasional dan lokal dinilai sebagai manuver besar yang bisa memperkuat demokrasi lokal. Namun sekaligus hasil putusan Mahkamah Konstitusi ini membuka risiko konstitusional dan ketidakefektifan tata kelola politik. Kebijakan ini bukan hanya soal pemisahan jadwal, tetapi menyangkut struktur kekuasaan, arah kebijakan, dan kepercayaan publik terhadap sistem politik.

Menurut Dr. Nurul Zuriah, M.Si. selaku dosen senior PPKn Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pemisahan ini memang bisa menciptakan ruang kontestasi yang lebih sehat. Isu-isu lokal tidak akan lagi tertutup oleh dominasi narasi nasional. Pemilih juga dapat lebih fokus pada rekam jejak dan kapabilitas kandidat di tingkat daerah.

Namun, ia menilai bahwa dampaknya terhadap stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan tidak bisa dianggap remeh. Tanpa sinergi antara caleg pusat dan daerah, partai politik harus bekerja dua kali lebih keras dan mahal untuk menggalang dukungan publik. "Koalisi antara pusat dan daerah bisa tidak sejalan. Ini membuka ruang disharmoni kebijakan, yang berisiko memecah arah pembangunan nasional dan daerah," jelasnya.

Beban anggaran politik juga akan membengkak. Dua siklus pemilu berarti dua kali kampanye, dua kali logistik, dan dua kali pengamanan. Meskipun beban teknis penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu lebih ringan, masyarakat bisa mengalami kejenuhan politik karena terlalu sering dimobilisasi.

Permasalahan paling mengkhawatirkan adalah persoalan konstitusional. UUD 1945 menyebut pemilu dilakukan setiap lima tahun. Sementara putusan Mahkamah Konstitusi memberi jeda antara pemilu nasional dan lokal hingga 2,5 tahun. Ini menimbulkan ketimpangan masa jabatan dan berpotensi menyebabkan kekosongan jabatan legislatif maupun eksekutif.

"Kalau tidak diantisipasi, bisa terjadi pelanggaran konstitusi. DPRD bisa menjabat melebihi lima tahun, atau malah terjadi kekosongan tanpa mekanisme pengganti," ujarnya. Oleh karena itu, diperlukan rekayasa konstitusional berupa revisi undang-undang atau amendemen terbatas untuk menutup celah hukum ini.

Pemerintah juga harus segera menyusun regulasi transisi yang tegas dan implementatif, bukan sekadar administratif. Jika dijalankan dengan sistematis, pemisahan ini bisa meningkatkan kualitas kaderisasi dan representasi politik. Partai punya waktu lebih panjang menyiapkan kandidat terbaik, dan kandidat lokal bisa bersinar tanpa 'menumpang tenar' pada popularitas pusat.

Namun, Nurul menekankan bahwa semua itu hanya bisa tercapai kalau masyarakat aktif, kritis, dan tidak lagi hanya ikut arus. "Pemilu harus jadi alat perbaikan kehidupan masyarakat, bukan sekadar agenda politik lima tahunan," pungkasnya.

Dengan demikian, pemisahan pemilu nasional dan lokal memerlukan perencanaan yang matang dan implementasi yang efektif untuk menghindari risiko konstitusional dan meningkatkan kualitas demokrasi. (*/wil)

Sumber: umm.ac.id
×
Berita Terbaru Update