Alamanahjurnalis.com - Dalam setiap pertandingan sepak bola profesional, pemandangan para pemain yang masuk ke lapangan bersama anak-anak kecil telah menjadi tradisi yang sangat dikenal. Tradisi ini bukan hanya sekadar seremoni pembuka, melainkan memiliki makna mendalam yang berkembang sejak akhir abad ke-20.
Tradisi ini dikenal dengan sebutan “player escort” atau “mascot anak.” Menurut berbagai sumber, praktik ini mulai populer di Inggris pada era 1990-an, terutama di Liga Premier. Klub-klub besar seperti Manchester United dan Liverpool mulai mengadopsinya sebagai cara untuk mendekatkan pemain dengan para penggemar muda serta membangun citra positif olahraga sepak bola.
Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) secara resmi mengadopsi tradisi ini pada Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang. Sejak saat itu, kehadiran anak-anak sebagai pendamping pemain menjadi pemandangan wajib dalam pertandingan-pertandingan besar FIFA, termasuk Piala Dunia, Euro, hingga Liga Champions.
Tak hanya simbolik, kehadiran anak-anak di sisi para pemain juga membawa pesan sosial. FIFA dan berbagai organisasi kemanusiaan kerap memanfaatkan momen ini untuk mengampanyekan isu-isu penting seperti anti-diskriminasi, perdamaian, dan hak anak-anak. Kampanye seperti “Say No to Racism” pun kerap dikaitkan dengan tradisi ini.
Biasanya, anak-anak yang terpilih menjadi player escort berasal dari program sponsor seperti McDonald’s, atau dipilih melalui undian, kerja sama dengan sekolah, dan kegiatan komunitas klub. Mereka dianggap sebagai simbol harapan, masa depan, dan kemurnian olahraga.
Tradisi ini bukan hanya menyentuh secara emosional, tetapi juga memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dalam dunia olahraga. Sepak bola bukan semata-mata tentang persaingan, tetapi juga tentang menyatukan generasi, harapan, dan impian.
Sumber: beritanasional.com