Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kebudayaan Universal Islam

| May 14, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-05-14T00:06:17Z


Alamanahjurnalis.com - Kediri - Islam nampak kembali secara keseluruhan dalam aspek tradisionalnya dalam perdebatan tentang konsepsi-konsepsi yang akan datang, mengenai kemanusiaan, universalitas hukum internasional. Islam bukan merupakan monolitisme (suatu pendirian yang kaku) tetapi merupakan toleransi, fleksibilitas dan pragmatisme, mengatur umat manusia sebagaimana adanya dengan persamaannya, kontradiksi-kontradiksinya, oposisi dan aspirasi-aspirasinya. Hukum bangsa sebagai sistem formal yang mencukupi diri sendiri  karena orde sosial universal merupakan hasil dari gambaran-gambaran spiritual yang membentuk dunia.

Kebudayaan universal Islam menggunakan berbagai cara untuk meningkatkan penyesuaian diri kepada kebudayaan-kebudayaan setempat. Cara yang paling jelas corak Islamnya di antara metoda-metoda tersebut adalah ijma’. Kesepakatan umum yang dipersempit menjadi suatu kesepakatan para ahli dilimpahi wewenang untuk menetapkan sah tidaknya keyakinan atau perbuatan seseorang yang mungkin telah diterima oleh masyarakat. Keputusannya yang dikaji memasukkan masalah yang bersangkutan ke dalam unsur-unsur normatif tradisi Islam.

Suatu gaya umum dalam mengajukan argumentasi serta merumuskan sesuatu, paling jelas tercermin dalam corak khas Hadist dan suasana kepastian yang ditimbulkannya meliputi praktis seluruh manifestasi harfiah dari ajaran Islam (Gustave, E.V.G (Ed), 1975). Gaya itu secara efektif mendorong terciptanya keseragaman kebudayaan Islam. Kesatuan formal penulisan teologi dan ilmiah Islam telah memungkinkan penyebarannya secara internasional, sejalan dengan penerimaan internasional terhadap bahasa Arab.

Faktor yang paling berpengaruh dalam menyesuaikan hubungan-hubungan antara peradaban Islam dengan peradaban-peradaban tradisional negeri-negeri Islam adalah sikap suka rela serta kebebasan pribadi mukmin perorangan dalam menentukan identitas dirinya. Bisa saja ia menjalani kehidupan dengan praktek-praktek warisan nasional dan etnis, tetapi bersamaan dengan itu, ia mengakui bahwa perilakunya itu hanya merupakan kekurangan yang dapat dima’afkan, dan untuk ini ia sanggup mengajukan berbagai alasan; lagi pula, dan inilah pokok yang menentukan, perilakunya dalam kehidupan sehari-hari ini dinilainya sebagai sesuatu yang tak punya arti, jika ia meninjau diri serta masyarakatnya dalam hubungannya dengan Khaliqnya dan seluruh umat manusia lainnya. Sebab dalam konteks universal ini, ia melihat dirinya yang tak berarti itu muncul di antara pengikut-pengikut Nabi, dan dari perserikatan dengan mereka inilah ia mendapatkan kemuliaannya di dunia ini serta keyakinannya bahwa ia tidak akan cedera dalam dunia berikutnya.

Penulis : Ninik Qurotul Aini
×
Berita Terbaru Update