Alamanahjurnalis.com - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menegaskan pentingnya merevisi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA) menjadi Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (GN-AKPA).
Menurutnya, revisi ini diperlukan untuk menutup celah kebijakan dan menghadirkan perlindungan yang nyata bagi korban. Hal itu disampaikan saat Rapat Tingkat Menteri Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kantor Kemenko PMK, pada Kamis (10/7/2025).
“Kita tentu prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terungkap ke publik. Tapi di sisi lain, ini menunjukkan keberanian dari korban untuk bersuara dan melapor, baik ke pemerintah maupun aparat penegak hukum,” ujar Pratikno dikutip dari keterangannya, Jumat (11/7/2025).
Pratikno menegaskan bahwa upaya perlindungan tidak bisa berhenti di level normatif. Dibutuhkan kebijakan yang lebih operasional dan responsif terhadap kebutuhan lapangan.
“Celah-celah dalam pelaksanaan regulasi saat ini harus ditutup. Kita tidak bisa hanya mengandalkan aturan yang sifatnya normatif, tapi harus menghadirkan perlindungan yang nyata dan terasa bagi korban,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa pemerintah menginisiasi perluasan GN-AKSA menjadi gerakan yang lebih luas dengan mencakup berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan fisik, psikis, verbal, hingga kekerasan berbasis siber, yang dialami baik oleh anak maupun perempuan.
“Jadi bukan hanya kekerasan seksual, tapi kekerasan dalam artian yang umum, termasuk kekerasan verbal dan lain-lain. Dan bukan hanya terhadap anak, tapi juga terhadap perempuan,” ungkapnya.
Substansi R-Inpres GN-AKPA akan memuat dua bagian utama, yaitu instruksi umum bagi kementerian/lembaga yang mencakup sinergi data, keterpaduan penanganan, penguatan kelembagaan dan SDM, pelaporan, serta rehabilitasi; serta instruksi khusus sesuai tugas dan fungsi masing-masing K/L.
“Kita ingin mendorong bukan hanya sinergi dan sinkronisasi antar-lembaga, tapi juga membangun ekosistem pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban,” bebernya.
Selain itu, dia menambahkan, keberhasilan gerakan ini tidak bisa hanya ditopang oleh pemerintah pusat. Keterlibatan masyarakat menjadi bagian tak terpisahkan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada keterlibatan aktif dari keluarga, komunitas, masyarakat, organisasi-organisasi sosial, keagamaan, semuanya yang punya peran penting di dalam mencegah kekerasan terhadap anak dan perempuan,” katanya.
Revisi ini juga diarahkan agar selaras dengan regulasi yang sudah ada, seperti UU TPKS, UU Perlindungan Anak, UU Pemda, PP TUNAS, dan Stranas PKTA, serta dilengkapi dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) agar bisa diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah.
Sumber: beritanasional.com